Tanggal
9 Desember 2006 lalu, kebahagiaan tampak tercermin hampir pada semua
wajah wisudawan maupun wisudawati UIN Syahid Jakarta, tak terkecuali
pada diri dan keluarga saya yang turut hadir. Jauh hari sebelum
pelantikan wisuda, mereka keluarga saya, telah lebih dulu tiba dengan
sejuta harapan, diantaranya melihat saya memakai toga dan seragam
wisuda.
Siapa
yang tidak bahagia, penantian selama kurang lebih 4 tahun duduk di
bangku kuliah, pulang pergi menuju kampus, kumpulan buku, tumpukan
makalah, koleksi kenangan manis maupun pahit, akhirnya berujung jua.
Penantian yang telah menyita cukup banyak waktu dan biaya, pahit getir
perjuangan memungut indeks prestasi kuliah yang berceceran di ruang
birokrasi, ketabahan serta kesabaran mengejar dosen untuk membimbing
dalam penulisan skripsi, begitu juga ketegangan saat duduk di kursi
panas ketika munaqasah akhir berlangsung.
Berat
memang meraih kemenangan, meskipun wisuda sebenarnya bukanlah akhir
sebuah perjuangan dan kemenangan atas perjuangan. Wisuda hanyalah
simbol kemenangan akademik, karena kita dituntut untuk mengumpulkan
nilai kuantitatif diri, dengan ukuran amat baik, baik, cukup, dan
kurang. Wisuda hanyalah seremoni kesedihan, karena beban gelar yang
disandang sebagai sarjana amat beratnya. Pengakuan diri sebagai
wisudawan maupun wisudawati hanya pertanda, “engkau telah menjadi
manusia berpendidikan dan terdidik, wess udahlah, kalian boleh pergi”. Wallahu a’lam Wa La Haula Wala Kuwwata Illa Billah.