<div style='background-color: none transparent;'><a href='http://www.rsspump.com/?web_widget/rss_ticker/news_widget' title='News Widget'>News Widget</a></div>

Showing posts with label Foot Note. Show all posts
Showing posts with label Foot Note. Show all posts

Beragama tapi “Atheis”


Beberapa Jamaah Maiyah Gambang Syafaat bertanya kepada saya, “Mas mengapa orang-orang yang pengetahuan dan praktek beragamanya sudah tinggi namun masih juga korupsi?” Saya cukup kaget mendengar pertanyaan tak terduga itu, apalagi teman-teman juga menunjuk bahwa tersangka koruptor wanita kini juga gemar pakai jilbab. Teman-teman ini tidak mau menunjuk nama para koruptor yang kini disorot media tersebut, namun mereka bilang bahwa para koruptor itu juga ada yang pernah nyantri (jadi “mantan” santri, batin saya), ada yang pernah jadi ketua kelompok perkumpulan organisasi Islam, mereka juga banyak memiliki nama yang juga sangat “Islami”, rajin umroh, rajin berkhotbah, dahinya hitam tanda lebih lama bersujud, bahkan ketika masih menjadi mahasiswa/ketikanyantri merupakan orang yang paling keras berteriak soal korupsi. Namun ketika kini masuk lingkaran kekuasaan, mereka ternyata juga orang yang paling kuat menginjak amanah rakyat dan rajin mencuri dan merampok kekayaan negara. Fenomena apa ini?
Atas pertanyaan “berat” tersebut, saya juga mengeluh, apa salah dan dosa saya hingga harus menerima pertanyaan seperti ini, apalagi saya juga dituntut mampu memberikan jawaban kepada mereka. Tak tahukah mereka bahwa saya ketika mau diajak menemani para jamaah juga hanya karena “kebetulan” saja? Namun bagaimanapun juga saya harus menjawab. Jawab saya yang masih awam pengetahuan agamanya hanya sederhana: mereka (para koruptor) baru sebatas menjalankan syariat agama. Mesti dipahami, beragama saja tidak menjamin akan dapat membersihkan jiwa. Syariat agama seperti sholat, puasa, zakat, haji, dst, baru sebatas “metoda” dan bukan tujuan. Sialnya orang sudah merasa beragama dan merasa mendapat tiket surga jika ia sudah melaksanakan “metoda” tersebut. Meski tetangganya kiri kanan kelaparan, ia masih asyik rajin ber-umroh dan mendirikan masjid di berbagai tempat. Tentu bukan berarti menjalankan umroh atau mendirikan masjid tidak penting, namun ia harus sampai kepada tataran adil dan proporsional.
Orang beragama yang masih korup, berarti ia belum tauhid. Tauhid bukan berarti meng-Esa-kan Tuhan, namun sebuah upaya untuk menggerakkan diri menggabung ke Tuhan. Kalau ia belum mampu menggabungkan diri ke Tuhan, maka ketika ia berwudlu — misalnya — maka ia juga belum sadar bahwa wudlu itu mestinya tidak saja berarti membersihkan kotoran badan, namun juga harus sampai membersihkan kotoran jiwa. Dalam sholat, umat muslim (apalagi pejabat negara) sudah berjanji: “Sholatku, hidup matiku, ibadahku, dst… hanya untuk Allah semata”. Ketika membaca Al Fatehah dalam sholat, ia juga selalu memohon: “Ya Allah tunjukkan aku ke jalan yang lurus (menegakkan)”, dan permohonan ini dilakukan setidaknya 17 kali setiap hari. Kalau anda menjamu seorang tamu dan ia meminta segelas air, dan anda memberinya, tapi tak dimunum sampai 17 gelas, bahkan lebih, maka kira-kira bagaimana sikap anda terhadap tamu itu? Anda pasti akan mengumpat, orang ini gila. Meminta minum, sudah diberi 17 gelas masih juga tidak diminum dan (lebih gila lagi) ia masih meminta terus. Lalu kira-kira bagaimana sikap Allah ketika umat-Nya dalam sholat minta ditunjukkan jalan yang lurus tapi tetap saja korupsi (misalnya)?
Bukankah dalam sholat kita juga bersumpah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah? Boleh dan logiskah kita yang mengakui adanya Allah namun menyakiti ciptaan-Nya (memakan harta rakyat, merusak hutan dan tambang, dst)? Bukankah dalam sholat kita juga berjanji akan saling menyelamatkan untuk mengubah “rahmatullah”menjadi “barokah”? Orang juga mesti paham bahwa rahmat Allah akan ditumpahkan kepada siapa saja termasuk para koruptor, namun barokah hanya milik orang yang memiliki “piring dan cangkir” yang bersih. Dengan kata lain, baru mengamalkan satu kalimat seperti: syahadat, assalamualaikum, alhamdulillah, bismillah, dst saja kita tidak mampu, apalagi mengamalkan sebagian besar isi Al-Quran.
Karenanya jika selesai sholat kita korupsi atau menyakiti tetangga, apakah ini berarti kita telah mendirikan sholat? Jawabnya jelas tidak. Dari konstruksi inilah menjadi jelas bahwa mengapa Indonesia yang hampir 96 % penduduknya memeluk Islam, dan bahkan 100 % pejabatnya pernah pergi haji, ternyata juga tetap menjadi negeri paling korup di dunia, dan sebaliknya Swedia dan negara-negara Skandinavia lainnya — meski tidak beragama Islam — namun dicap sebagai negara paling bersih di dunia. Padahal Islam mengajarkan kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang, moral, akhlak, dan sebagainya, namun sayang tidak dapat diamalkan oleh umatnya. Kalau baru tingkatan akhlak saja belum sampai, bagaimana kita mau sampai kepada tingkatan taqwa?
Demikian pula ketika seorang pejabat negara yang ketika berhaji melontar jumroh — misalnya. Ia mestinya juga sadar bahwa ia tidak sekadar melempar tugu sebagai benda yang mati, namun harus sadar bahwa ia sedang melempari syetan. Karenanya ketika kembali ke tanah air dan ke kantornya, ia juga tetap harus melempari syetan yang mengajaknya korupsi. Artinya harus mampu menolak segala kebatilan dan kejahatan yang menjauhkan dirinya dari Allah dan Rasulullah. Seorang pejabat yang sangat rajin sholat, tentu harus ingat bahwa ketika sujud, ia merendahkan mukanya, dan justru pantatnya yang lebih tinggi dibanding mukanya. Padahal muka adalah lambang kemartabatan. Namun toh ia masih memuji Allah yang maha tinggi. Tentu jika ia mengamalkan sujud tersebut dalam keseharian, ia akan malu jika martabatnya tercoreng karena korupsi.
Orang beragama yang sudah sampai kepada Allah, pasti akan menggerakkan seluruh ibadah “mahdhoh-nya” untuk menuju kesadaran sejati mengabdi kepada Allah. Setelah sholat misalnya, ia akan menyiapkan segala indranya untuk Allah. Melalui Rasulullah, Allah telah bersabda: “Ketika AKU mencintai seorang hamba, Aku Tuhan adalah telinganya sehingga dia mendengar dengan AKU, aku adalah matanya sehingga ketika melihat dengan AKU, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara dengan AKU, dan AKU adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan AKU”.
Kalau seseorang telah mampu “menggabungkan” diri ke Allah (tauhid), maka ia juga akan dapat memantulkan 99 nama Allah itu dalam perilaku kehidupannya. Seorang pejabat negara yang sudah sampai taraf ini, ia akan lebih mudah mengamalkan sifat Allah, misalnya al-Adl, yakni adil dalam setiap tindakan. Keadilan adalah titik sentral dari “lingkaran asma Allah”. Kalau dia adil, pasti dia juga akan rahman dan rahim, cinta yang meluas sekaligus mendalam. Tidak mungkin tanpa rahman dan rahim ia akan mampu berbuat adil. Apalagi jika sudah sampai al-mukmin, maka ia harus menjadi indikator utama, bahwa kalau ada dia (sang pejabat itu), maka rakyat akan aman hartanya, jiwanya, dan martabatnya.
Kita juga tidak dapat menyalahkan seratus persen para pejabat yang korup. Semua tentu ada akar masalahnya. Kalau pencurian yang dilakukan rakyat kecil barangkali disebabkan kemiskinan, dan ini berarti ada struktur yang tidak seimbang, maka barangkali, para pejabat yang suka mencuri juga adalah “korban” dari sistem dunia yang cenderung tidak adil dan menghisap. Untuk menjadi pejabat (misalnya) harus disponsori kapitalis (asing), karena biaya politik amat mahal. Ini berarti ada semacam dosa-dosa yang struktural sifatnya. Hanya masalahnya, mengapa para pejabat sebelumnya begitu percaya diri mengaku siap memimpin?
Mestinya setiap hari ia akan “lari” kembali “menggabung” ke Allah jika ia terbentur tembok yang mengajak menjauhkan dari-Nya. Ia harus selalu peka mengasah “radar” jiwa dan batinnya, dan ibadah mahdhoh yang saya sebut tadi sebenarnya adalah metode yang ampuh untuk mengasah “radar” kepekaan tersebut. Ia harus rajin ber-iqra, dan rajin memaksa diri kembali kepada jati dirinya, yakni manusia yang fitri.
Kalau ia sudah beragama, namun masih korup dan berbuat kebatilan, maka ia belum kembali kepada kefitrian dan belum kembali ke rumah Allah. Islam adalah agama dunia sekaligus akherat, dan ini tidak dapat dipisahkan antara tauhid vertikal dan horizontal. Tidak bisa Allah diajak kalkulasi, kita korupsi 10 ribu, jika yang 5 ribu kita sumbangkan ke masjid maka dosa kita terhapus. Karena Islam adalah agama dunia-akherat, maka tidak ada keterpisahan. Dengan kata lain, yang ideal adalah menjalankan segala tugas duniawi (jadi guru, dosen, budayawan, tukang nggamel, pemusik, penyanyi, pejabat, bupati, gubernur, presiden, blantik sapi, tukang ojeg, pengamen, dst) untuk diarahkan selalu ke rumah Allah.
Kata Al Ghazali: “Menjadi sufi itu tidak menolak dunia ini, mereka juga tidak memandang bahwa nafsu duniawi harus dimatikan. Mereka hanya ingin mendisiplinkan keinginan-keinginan yang tidak berkesesuaian dengan kehidupan agama dan perintah suara akal. Mereka tidak melemparkan semua hal itu di dunia ini, mereka juga tidak mengikutinya dengan balas dendam. Lebih dari itu, mereka tahu nilai yang benar dan fungsi segala sesuatu di atas bumi. Mereka menyimpan sebanyak apa yang menjadi kebutuhan. Mereka makan sebanyak yang mereka butuhkan untuk tetap sehat (dan ini berarti adil terhadap dirinya sendiri). Mereka memelihara tubuh mereka dan secara simultan membebaskan hati mereka. Tuhan menjadi titik fokus yang kepadanya seluruh hidupnya terarahkan. Tuhan menjadi obyek pujaan dan perenungan mereka.”
Seorang sufi tengah berdoa dengan tenang. Seorang pedagang yang kebetulan juga memegang jabatan menghampirinya dan menawarkan satu tas berisi dinar emas kepada sufi tersebut. “Sebentar”, kata sang sufi. “Apakah uang ini sah? Apakah kamu masih memiliki lagi uang seperti ini di rumahmu?”. Jawab si pedagang “Tentu saja punya karena saya kaya raya!”. Lalu sang sufi bertanya: “Apakah kau masih mau mencari uang dan harta lagi yang lebih banyak? “Tentu saja, saya akan bekerja lebih keras untuk mencari ribuan keping emas lagi”. Mendengar jawaban itu sang sufi berkata: “Kalau begitu, orang kaya tidak boleh menerima uang dari si miskin. Aku kaya dan kamu masih miskin”. Kaget si pedagang mendengar kata sang sufi, lalu ia bertanya: “Bagaimana engkau menyebut aku si miskin sedangkan uangku segunung di rumah?”
Sang sufi menjawab “Saya adalah orang yang kaya karena aku selalu puas terhadap apa yang Tuhan berikan kepadaku. Engkau masih miskin sebab meski Tuhan telah memberikan uang segunung tingginya, engkau tidak puas dan terus mencarinya”.
Dengan kata lain, orang-orang yang beragama tetapi masih korup adalah orang sebenarnya masih percaya adanya Tuhan, namun ia tidak percaya atau setidaknya melupakan akan janji-janji Tuhan, sifat-sifat Tuhan, keagungan Tuhan, dst. Karenanya ketika disumpah di pengadilan (misalnya), bahkan di bawah kitab suci dan menyebut “demi Allah”, dia tetap berbohong, dan pulang dengan kepala tegak, senyum lebar, melambaikan tangan kepada para wartawan yang mewawancarainya ketika pulang bersaksi di pengadilan, dan esoknya berangkat Umroh!
Continue Reading | komentar

Sedang Tuhan pun Berpuisi


Puncak ilmu adalah filsafat, dan puncak seni adalah puisi. Begitu kira-kira pandangan banyak orang. Orang yang tidak bisa menikmati puisi boleh dibilang tidak “lengkap” sebagai manusia. Orang yang tidak dapat menikmati puisi tampaknya akan sulit disentuh hatinya. Padahal hati ini adalah salah tiga alat kelengkapan diri selain akal dan syahwat. Tidak semua persoalan hidup dapat dipecahkan lewat akal dan rasionalitas, karena tubuh seseorang terdiri atas jasmani dan rohani.
Jangankan “makanan” rohani, sedangkan untuk kebutuhan jasmaniah saja tidak setiap orang memiliki kecerdasan yang sama dalam memilih makanan yang sehat dan enak, serta dalam takaran yang pas. Ada orang yang tidak peduli kalau tiap hari nekad memakan daging babi, atau makan jerohan — misalnya — karena ia berpandangan: “hidup itu sekali, maka harus dinikmati”.
Demikian rohani harus diberi “gizi” yang memadai agar keseimbangan hidup itu terjaga. Puisi adalah salah satu makanan rohani yang berdampak terhadap kesehatan jasmani. Hanya orang yang sudah sublim dan memiliki endapan rohani tertentu yang sanggup membuat puisi dengan “takaran” tertentu yang (juga) dapat menggugah kesadaran rohani seseorang. Karena puisi dibuat dengan takaran rohani tertentu, maka hanya orang yang sudah siap rohaninya saja yang dapat disentuh hatinya.
Saya sering iseng-iseng mengamati, seorang pemimpin atau pejabat yang tidak memiliki jiwa seni, tampaknya ia akan sulit mengekspresikan jiwa kepemimpinannya, sekalipun ia cerdas secara keilmuan dunia. Ia akan sulit menggetarkan pengikut atau rakyatnya untuk diajak membangun daerahnya — misalnya.
Seorang pejabat yang tidak memiliki jiwa seni, juga akan “wagu”, tidak saja ketika berpidato, tapi juga “wagu” produk-produk kebijakannya. Ia bagai robot yang cerdas, namun tidak memiliki hati, sehingga tidak indah dipandang. Melalui puisi tampaknya akan lebih mudah menyentuh hati ini, karena makanan hati bukannya rasionalitas, namun kelembutan dan keindahan. Puisi adalah sublimasi dari keindahan. Sekasar apapun watak seseorang, jika ia sudah tersentuh hatinya maka ia akan takluk, bahkan menangis.
Karenanya, Allah SWT lebih suka memperkenalkan watak-Nya dengan bahasa keindahan. Lihat dan bacalah maka akan jelas bahwa firman-Nya juga “dikemas” dalam bentuk puisi. Al Quran adalah “puisi” yang tidak saja maha indah tingkat seni bahasanya, namun juga gabungan dengan baik dan benar. Mengapa Allah harus berpuisi? Jawabnya barangkali Allah akan bertindak “konsekuen” setelah menciptakan unsur manusia yang terdiri jasmani dan rohani, dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah mengajari bahwa untuk mengajak kepada kebaikan harus melalui keindahan. Barang yang baik, jika tidak disampaikan demgan keindahan, maka tidak akan menyentuh hati. Sebaliknya barang yang indah jika tidak disampaikan dengan baik dan benar maka itu tidak akan sampai kepada tujuannya.
Perdebatan apakah seni hanya untuk seni atau seni untuk kemaslahatan seperti ini tampaknya sudah lama terjadi, misalnya dilakukan oleh para sastrawan Pujangga Baru yang dimotori oleh Sutan Takdir Alsjahbana. Tentunya perdebatan ini tidak akan terjadi jika mereka “berguru” kepada Allah.
Karena orang umumnya tidak melakukan itu maka yang muncul adalah kontradiksi-kontradiksi. Kleden (1986) misalnya pernah mengungkapkan bahwa masalah kebudayaan (juga kesenian) dihayati dengan cita rasa yang berbeda oleh mereka yang memiliki kepentingan.
Tentu perbedaan pandangan dipengaruhi oleh beberapa hal, selain aksentuasi dan variasi, juga lebih jauh melibatkan perbedaan logika, baik menyangkut kerangka konseptual maupun yang menyangkut dengan minat masing-masing. Karenanya kita dapat memahami jika kata kunci seorang seniman dalam memahami kebudayaan (kesenian) adalah: daya cipta.
Ini berarti bagi seorang seniman, kebudayaan adalah sebuah kata kerja. Mereka adalah orang-orang yang resah yang ingin mengepakkan sayap imajinasinya untuk diekspresikan dalam sebuah karya seni. Para seniman bekerja secara bebas dan tidak terkekang oleh konvensi ilmiah yang kaku, seperti halnya para ilmuwan dengan kerja desain yang rumit.
Kembali kepada rumus: baik, indah, dan benar, maka kita dapat memahami jika — misalnya — seorang Rendra harus dibenci penguasa “hanya” karena ia berkesenian? Kebencian ini muncul karena meski karya Rendra indah, namun menurut penguasa tidak disampaikan dengan cara yang “baik” dan “benar”. Baik dan benar bagi penguasa adalah bahwa berkesenian itu harus reasonable (dan karenanya tidak menimbulkan kontradiksi) sertaacceptable (dan karenanya tidak menimbulkan resistensi, apalagi oposisi). Dengan kata lain, legitimasi politik penting artinya bagi penguasa untuk dikawinkan dengan legitimasi budaya.
Karena dapat dipahami jika kata kunci penguasa adalah kata-kata “warisan budaya”. Dalam kacamata politik, penguasa akan selalu mendesain kebudayaan ke dalam kerangka politiknya. Lihat saja berbagai pelarangan karya sastra telah menelan korban, baik terbelenggunya kebebasan bahkan sampai nyawa sang seniman, jika berhadapan dengan penguasa otoriter. Pada masa lalu untuk sekadar mementaskan sebuah drama, urusannya bisa sangat panjang. Perizinan mulai dari tingkat RT sampai kantor polisi dan badan-badan sensor lainnya.
Dalam pandangan Rendra, persoalannya adalah bagaimana konflik (antara penguasa dan seniman) itu ditransformasikan menjadi kompetisi dan bukan antagonisme. Konflik mestinya diterjemahkan menjadi diplomasi dan bukan memaklumkan “perang”. Artinya jauh lebih efektif membuktikan rendahnya mutu sebuah karya sastra dengan sebuah perdebatan “ilmiah” daripada harus melarangnya dengan kekuatan politik yang sarat dengan kekerasan.
Bagi seniman karya sastra bukan saja merupakan media untuk mengekspresikan keindahan, namun juga merupakan media untuk menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan nasib rakyat. Untuk sampai ke tataran ini memang ada mekanisme panjang kata Cak Nun (Baca : Indonesia bagian Penting dari Desa Saya, 1983). Pertamamekanisme penciptaan karya sastra, kedua mekanisme pergaulan antara karya sastra yang dihasilkan tersebut dengan masyarakat dan ketiga pergaulan antara seniman dengan masyarakat (termasuk penguasa).
Dalam bahasa lain dapat dirumuskan bahwa eksistensi manusia berbudaya mencakup tiga ruang lingkup, yakni : lingkup lingkungan material (lingkungan buatan manusia), lingkuplingkungan sosial (organisasi sosial, birokrasi, kekuasaan, gaya hidup, dst), serta lingkupsimbolik (makna, kata, tingkah laku, bahasa,dst). Idealnya antara lingkungan material dan simbolik (kultur), harus sinergi dengan lingkungan masyarakat (kultur).
Soal seni yang disampaikan dengan mengabaikan salah satu unsur: indah, baik dan benar, juga terjadi pada misalnya kisah seorang “seniman” jalanan di Kota Solo yang bernama Maryanto. Ia adalah seorang pemain “jaran dor” (kuda lumping) yang sempat diadili karena dianggap mengekploitasi anak di bawah umur untuk bekerja. Maryanto, baru berusia 27 tahun, dan ia mengajak anak usia 10 tahun untuk “ngamen” (bahasa kerennya mengekspresikan seni) sebagai pemain “kuda lumping”, guna mencari sesuap nasi.
Sehari-hari ia hanya mendapatkan uang sekadar untuk makan. Karenanya, sebagai orang yang buta hukum, Maryanto tidak paham apa artinya mengeksploitasi anak di bawah umur untuk membantu bekerja. Maryanto barangkali juga tidak berpikir jauh, misalnya mengapa orang tua Baim, tokoh sinetron anak-anak, tidak pernah diusik oleh pengadilan. Padahal kata orang tuanya, Baim yang masih berusia di bawah lima tahun, sering shooting sampai larut malam.
Demikian pula penyanyi-penyanyi cilik semacam Joshua, Trio Kwek-kwek, Pildacil, dst, juga tidak pernah tersentuh oleh aturan hukum seperti yang dialami Maryanto. Apakah bedanya antara Maryanto dengan orang tua Baim misalnya? Sepenggal kisah tersebut cukup menggambarkan sebuah konflik yang tidak dihayati dalam cita rasa yang sama diantara para pelaku kesenian dan kekuasaan.
Sekali lagi mengapa mereka tidak mau berguru kepada Tuhan? Kurang apa kekuasaan Allah? Mengapa Allah tidak otoriter saja, dan mengapa harus berfirman dengan nada puitis? Mengapa tidak saja langsung mengancam: “aku larang keras manusia berzina”, tapi mengapa harus dengan nada mesra “jangan dekati zina”, misalnya? Bukankah Allah memiliki kebebasan mutlak untuk memerintahkan apa saja? Bukankah Allah juga bisa otoriter sehingga yang tidak taat langsung saja dihukum di dunia? Sekali lagi Allah tidak melakukan-Nya. Allah memilih untuk bermesra-mesraan dengan makhluk ciptaan-Nya, dengan jalan “berpuisi-ria” dengan segala firman-Nya.
Allah sangat “paham” berapa “takaran” yang pas, dimana ayat-ayat itu diturunkan. Allah juga paham bagaimana bentuk kemesraan-Nya jika berhadapan dengan model watak kaum tertentu. Allah juga sangat paham kapan dan di mana ayat-ayat diturunkan, sehingga ayat-ayat itu harus bernada puitis dan pendek, serta di lain pihak juga sangat tahu kapan kemesraaan-Nya harus disampaikan dengan nada-nada “ancaman”, misalnya?
Kalau Allah saja “maha seniman”, mengapa manusia tidak meniru ajaran-Nya ini? Mengapa dalam memanajemen negara (misalnya), malahan amburadul, sudah caranya disampaikan tidak saja buruk, namun juga tidak benar plus tidak indah.
Betapa meruginya manusia yang tidak bisa mengekspresikan kekhalifahannya dalam takaran keseimbangan: baik, benar, dan indah, serta tidak tahu bagaimana kapan harus menggunakan akal, kapan harus hati, dan kapan memadukan keduanya untuk menekan syahwatnya (baca: nafsu dalam berbagai bidang kehidupan).
Continue Reading | komentar

Surat Kepada Manusia



Allah telah berkirim surat kepada manusia.
Surat-surat itu diberikan oleh Allah kepada malaikat bernama Jibril untuk dibawanya kepada manusia bernama Muhammad. Oleh Muhammad, surat-surat itupun harus disampaikannya pula kepada sesama manusia. Sehingga Muhammad niscaya menjadi utusan Allah bagi seluruh manusia lainnya. Manusia, mahluk yang oleh Allah dijadikan sebagai khalifah-Nya bagi bumi.
Akan tetapi, telah lebih dari tiga belas abad lamanya Muhamad wafat. Begitu pula manusia-manusia yang pernah menjumpainya. Sekarang, bagaimanakah nasib surat-surat Allah yang dulu telah seluruhnya disampaikan oleh Muhammad itu?
Tidak mungkin surat-surat itu hilang walau sekedar satu huruf. Karena, adanya kehilangan, meski sesedikit apapun, dengan sendirinya membuktikan bahwa surat-surat itu pasti bukan dari Allah.
Mustahil bagi Allah untuk tertelikung. Lagi pula, bukan Allah tentunya, kalau tidak bisa memastikan surat-surat-Nya sampai ke tujuan. Begitu juga, bilamana Muhammad tidak sempurna dalam menyampaikan surat-surat itu, maka adanya kekurangan pada Muhammad hakikatnya adalah kegagalan Allah juga. Dan, bagaimana mungkin, Allah gagal? Bukankah hal itu hanya akan membantah eksistensi-Nya sendiri, Allah, Yang Diper-Tuhan bagi seru sekalian alam.
Akan tetapi, siapa orang yang kemudian terus menyampaikan surat-surat Allah setelah Muhammad wafat? Siapakah orang yang memiliki kemampuan untuk menyambung, menyuarakan, dan menerangkan surat-surat itu kepada semesta manusia?
Adakah diantara sahabat-sahabat Muhammad yang memiliki pemahaman begitu sempurna sehingga ia dapat menyerap keseluruhan surat-surat Allah, sehingga apabila Muhammad wafat, maka surat-surat Allah tidak serta-merta ikut terkubur bersama Muhammad.
Bukankah sebuah hal yang mustahil bagi pemilik surat, yang adalah Allah, terhalangi untuk memastikan ketersampaian surat-surat itu kepada tujuannya. Tidak mungkin surat-surat Allah itu dapat hilang, atau hanya tinggal sebagian saja akibat terkikis dari satu penyampai ke penyampai lain, misalnya.
Walaupun surat-surat itu telah beredar selama lebih dari satu millennium, dan menyebar ke berbagai suku bangsa yang memiliki beda-beda bahasa dan tradisi, tentunya tetap tidak soal bagi Allah dalam menjaga ketersampaiannya. Karena Allah adalah Allah. Segala kekuatan adalah dibawah kuasa-Nya. Ia Maha Mengetahui. Ia Maha Perkasa. Ia Maha Melindungi.
Sudah pasti surat-surat Allah itu akan terus ada, tetap lengkap huruf per hurufnya, berikut bunyi dan makna-makna yang dikandungnya. Pun, adanya orang-orang yang tetap menyampaikan surat-surat Allah itu, dari generasi ke generasi, sampai ke ujung esok nanti, juga merupakan suatu keniscayaan yang garansinya tidak lain adalah eksistensi Allah sendiri. Allah Yang Maha Mengasihi, Maha Menyayangi. Dan Ia tidak sekalipun merasa capek atau berat dalam memelihara seisi langit dan bumi yang tidak lain adalah ciptaan-Nya sendiri.
Syahdan, surat-surat teramat penting bagi manusia yang dibuat dan disampaikan sendiri oleh Allah kepada Jibril untuk dibawakan kepada Muhammad, tentunya sudah purna ditunjukkan, dijelaskan, dan dipraktekkan oleh Muhammad kepada sahabat-sahabatnya. Dan, sebagaimana yang diterimanya dari Muhammad, sahabat itu pun akan membacakan, menerangkan dan mempraktekkannya kepada manusia-manusia lain sebagaimana yang telah diimlakan oleh Muhammad.
Demikian seterusnya. Dari sahabat ke sahabat, dari penjaga ke penjaga, tidak ada satu pun huruf dan lafal dari surat-surat itu yang berubah bentuknya. Tidak pula ada makna-makna yang berkurang ataupun bergeser dari setiap tempat dan kedudukannya. Semenjak dikirimkan oleh Allah, keutuhan surat-surat itu tentunya senantiasa terjamin untuk ada, selamanya.
Namun, sesudah air mengalir begitu jauh dari mata airnya, tertangkapkah kesucian surat-surat itu oleh kita kini?
Adakah kesadaran kita beruntung dapat menemui sang sahabat dari sahabat-sahabat Muhammad? Sahabat, penerus yang terus membawakan surat-surat Allah, yang tidak putus tali-temali ahlak serta kecerdasannya dengan Muhammad, sumber paling jernih tempat dimana kemuliaan tak terbatas pertama kali diturunkan.
Adakah, meski seorang saja diantara sahabat itu, hidup bertatap muka dan berkeseharian dengan kita sekarang?
Jakarta, 22 Juli 2012.

Saya dedikasikan tulisan ini bagi panitia-panitia Nuzulul Qur’an.
Continue Reading | komentar

Puisi Rindu


Allah, kutahu Engkau Maha Tahu
Bagi-Mu Rahasia Hati ini
Kuselubungkan Rindu di kedalaman tak terjangkau oleh indera manusia
Allah, rindu dikesunyian malam
Dalam hening kusendiri
Menatap hati yang merindu-Mu

Allah, kupenuhi hati ini dengan-Mu

Jahar dan Sirr


Allah,
dirimu lahir atau sirr
Kalau kulit terasa sakit tertusuk duri
Siapa yang merasa sakit
Lahiriah ini atau Sirr itu

Allah,
Jahar inikah kulit,
Jahar inikah mata,
Jahar inikah telinga,
Jahar inikah hidung,
Jahar inikah tangan,
Jahar inikah kaki,
Atau jahar ini yang kasat mata ini,

Allah,
Sirr itukah rasa,
Sirr itukah ruh,
Sirr itukah batin,
Sirr itukah ikhlas,
Sirr itukah cinta,
Sirr itukah benci,
Sirr itukah kesombongan,
Sirr itukah ujub,
Atau sirr itu yang tak kasat mata itu,

Allah,
Engkaukah rahasia yang memancar ke luar
Atau engkaukah yang dari luar bersemayam di Qalbu
Atau engkau yang keluar masuk,
Lalu masuk dan keluar lagi,

Allah,
La Ilaha, Jahar Engkau dari dunia
Illallah, Lalu sirr Engkau ke seluruh tubuh ini

Continue Reading | komentar

Wess Udah


Tanggal 9 Desember 2006 lalu, kebahagiaan tampak tercermin hampir pada semua wajah wisudawan maupun wisudawati UIN Syahid Jakarta, tak terkecuali pada diri dan keluarga saya yang turut hadir. Jauh hari sebelum pelantikan wisuda, mereka keluarga saya, telah lebih dulu tiba dengan sejuta harapan, diantaranya melihat saya memakai toga dan seragam wisuda.
Siapa yang tidak bahagia, penantian selama kurang lebih 4 tahun duduk di bangku kuliah, pulang pergi menuju kampus, kumpulan buku, tumpukan makalah, koleksi kenangan manis maupun pahit, akhirnya berujung jua. Penantian yang telah menyita cukup banyak waktu dan biaya, pahit getir perjuangan memungut indeks prestasi kuliah yang berceceran di ruang birokrasi, ketabahan serta kesabaran mengejar dosen untuk membimbing dalam penulisan skripsi, begitu juga ketegangan saat duduk di kursi panas ketika munaqasah akhir berlangsung.
Berat memang meraih kemenangan, meskipun wisuda sebenarnya bukanlah akhir sebuah perjuangan dan kemenangan atas perjuangan. Wisuda hanyalah simbol kemenangan akademik, karena kita dituntut untuk mengumpulkan nilai kuantitatif diri, dengan ukuran amat baik, baik, cukup, dan kurang. Wisuda hanyalah seremoni kesedihan, karena beban gelar yang disandang sebagai sarjana amat beratnya. Pengakuan diri sebagai wisudawan maupun wisudawati hanya pertanda, “engkau telah menjadi manusia berpendidikan dan terdidik, wess udahlah, kalian boleh pergi”. Wallahu a’lam Wa La Haula Wala Kuwwata Illa Billah.
Continue Reading | komentar

Demi Masa


Pagi cerah, kuingin engkau manusia pertama yang kupandangi
Siang bolong panas, kuingin berteduh di bawah keindahan wajahmu
Sore hari teduh, kuingin duduk bercengkerama bercerita tentang hati bersamamu
Malam hari hening, kuingin shalat dzikir mengimamimu
Paruh malam senyap, kuingin engkau menemaniku menemui ALLah
Dan subuh dingin, kuingin bersamamu menatap dunia
Bersamamu menjalani masa hingga akhir masa tetap bersamamu
Continue Reading | komentar

Akulah Takdirmu


Salam alaiki wahai ruh yang menumpang pada jasad seorang wanita
Aku seorang musafir, berjalan tak tahu arah mau ke mana
Kuingin berteduh di rumah hatimu selama beberapa hari
Kalau diijinkan, kuingin membangun rumah di hatimu
Jawablah salamku wahai pemilik hati
Aku membawa kado dari Tuhan untukmu
Sebuah kado takdir yang kutak tahu isinya apa
Kamu boleh melihatnya namun tak boleh menolaknya
Lihatlah wahai pemilik hati
Sayalah takdir yang dititipkan Tuhan untukmu
(06 Januari 2007)
Continue Reading | komentar

Syair Asma


Bermula puji atas Asma
Salawat salam atas Asma
Asma adalah cahaya yang menerangi
Siang malam adalah Asma
Tak mengenal ruang juga waktu
Karena Asma melampaui keduanya

Asma melampaui Asma
Dia hanya wujud bukan hakikat
Dia hanya pakaian bukan hakikat pakaian
Dia hanya Asma bukan hakikat Asma 

Asma mengumandang di tiap sudut hati
Semesta mikro maupun makro adalah Asma
Semua makhluk mengasmakan Asma
Karena makhluk adalah pancaran Asma

Asma mewujud dalam pribadi-pribadi
Namun hanya dipinjaminya bukan untuk dimiliki
Hanya dititipi bukan untuk meng-AKU-kan
Hanya menumpang bukan untuk menetap

Maka, sadarilah kita manusia
Yang tak memiliki daya dan kekuatan apapun
Yang tak memiliki asma apapun
Yang tak memiliki namun dimiliki
Yang bukan Tuan namun bertuan
Yang bukan Raja namun dirajai
Yang bukan memberi namun dinafkahi
Dialah Asmaul Husna
(06 Januari 2007)
Continue Reading | komentar

Syair Abu Nawas


Diujung kasihmu kepada dunia
Engkau meratap Cinta kepada Allah
Ya Allah Ku Tak Pantas Akan Surgamu
Surga yang kau berikan kepadaku di dunia
Tak melebihi luas dan indahnya cintaku kepadamu

Namun Juga Kutak Kuat Akan Perihnya Siksa Nerakamu
Dunia yang berbalut keindahan surgawi
Teryata tak mampu menampung rinduku kepadamu

Maka dari itu
Kuhatur sembah jiwa kepadamu
Memohon sucinya batin karena kesucian-Mu
Terimalah Taubat Cinta dan Ampunilah Segala Kesyirikanku Atas Duniamu
Dengan segala kebesaran dan keindahan-Mu
Karena Engkaulah Yang Maha Berhak Memberi Pengampunan
(20 Januari 2007)
Continue Reading | komentar

The Winner is


Kepada engkau yang membenciku, kepadamu yang membuat cinta seolah-olah, kepada semua yang dekat dan menjauh, kukirimkan fatihah kepadamu, kuserahkan al-ikhlas untukmu, kukadokan an-naas bagimu, dan kuhadiahkan al-Alaq yang juga untukmu. Jika dalam hidup win win adalah yang terbijak, maka kesejatian adalah you the winner and I’m the loser. Jika engkau menyakitiku di depan umum, maka di muka hakim akupun harus balas menyakitimu, namun jika aku diam tidak balik membalas maka berbanggalah dengan keperkasaanmu. Ketika dengan Cinta aku mendekatimu, lalu dengan seolah-olah Cinta kaupun merapat mendekatiku, maka kaupun seolah-olah menang padahal kamu sedang menuju kekaraman jiwa yang sangat dalam. Cinta yang kulabuhkan di dermaga hatimu, pada akhirnya akan kembali berlayar menyusuri besarnya liuk ombak kepura-puraan, kebohongan, dan kenistaan. Oh Hati yang berseliweran bisikan, LaHawlawaLaKuwwataiLLabiLLah, kubakar engkau yang mengganggu sinyal hubunganku dengan ALLah..ALLah..ALLah, LaiLahaiLLaLLah…….MuhammadunRasulullah. (25 Januari 2007)
Continue Reading | komentar

Sore Berdarah


Sore itu angin berhembus dengan lembut
Awan putih pun tampak bergerak ceria di atas langit
Malaikat terlihat khusyuk melantunkan zikir sore pada ilahi

Pukul Empat lebih tak tahu berapa
Kumengikat janji dengan diriku
Bersama gadis melalui sore
Menjemput saat waktu berbuka

Sesaat kumelajukan langkah kaki
Seorang meminta kumenolongnya
Kupatahkan janji beberapa menit
Berharap semua dapat terselesaikan

Gayuh motor secepatnya
Lalui jalan yang sepi dari keramaian
Malang nian dalam pejam mataku
Tersadarku telah bersimbah darah

(19 September 2008)
Continue Reading | komentar
 
Copyright © 2012. Belajar & Berbagi . All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website. Inspire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger